PUTUS PERNIKAHAN DAN AKIBATNYA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh II
Dosen Pengampu
Kholisudin LC. M. H. I
Disusun : SYAM EL FIRDAUS AS SHIDIK
KELAS E SEMESTER III
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)KEDIRI
2013
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Putusnya Pernikahan
Pada dasarnya pernikahan itu
dilakukukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami istri.
Namun, dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putus
pernikahan itu dalam arti bila hubungan pernikahan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan
akan terjadi. Putusnya pernikahan disebabkan karena perceraian
dan
hanya
dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah tidak berhasil didamaikan.
Putusnya pernikahan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa
sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya pernikahan itu. Dalam hal ini ada 4
kemungkinan putusnya pernikahan, yaitu :
1. Putusnya perkawinan atas
kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami istri. Dengan
kematian itu dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan.
2. Putusnya perkawinan atas
kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan
ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut talak.
3. Putusnya perkawinan atas
kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya
perkawinan sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk
putusnya perkawinan yang disampaikan si istri ini dengan membayar uang ganti
rugi diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus
perkawinan itu. Putusnya perkawinan
dengan cara ini disebut khulu’.
4. Putusnya perkawinan atas
kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami
dan atau pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu
dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.[1]
B.
Putusnya pernikahan dapat terjadi karena adanya
:
1.
Talak
Talak berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata اطلاق artinya lepasnya suatu
ikatan pernikahan dan berakhirnya hubungan pernikahan.Menurut istilah syara' talak adalah melepas
tali pernikahan dan mengakhiri hubungan suami istri.Menurut Al-Jaziri talak
adalah menghilangkan ikatan pernikahan atau mengurangi
pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata tertentu.Jadi talak adalah
menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan
itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, ini terjadi pada talak ba'in.[2]
A.
Macam-macam Talak
Dalam hukum islam macam-macam talak dapat
dilihat dari dua segi, yaitu dari segicara atau metode dijatuhkannya talak dan
dari segi keadaan istri yang akan ditalak apakah sedang suci atau sedang haid.
a. Dari segi metode menjatuhkan talak, talak
dibagi menjadi lima :
1. Talak Sharih
Adalah talak yang diucapkan oleh suami dengan
kalimat yang tegas.Misalnya perkataan," hai Ita Hidayati, kamu saya
ceraikan".Talak Sharih dapat jatuh meskipun tidak disertai dengan niat.
2. Talak Kinayah
Adalah talak yang diucapkan dengan kalimat
sindirian, tetapi mengandung makna dan maksud talak.Talak Kinayah tidak jatuh
kecuali dengan niat.Misalnya perkataan suami "pulanglah kamu kerumah orang
tuamu selamanya".
3. Talak dengan tulisan
Talak dengan tulisan tetap bisa jatuh, misalnya
karena suaminya bisu dengan catatan kalimat tertulis yang dipakai untuk
menthalak jelas atau dapat dipahami maksudnya.
4. Thalak dengan isyarat
Orang yang bisu bisa membuat isyarat yang orang
lain menjadi faham bahwa ia menceraikan istrinya. Sebagian ulama menyaratkan
bisu karena tidak bisa membaca dan menulis.
5. Thalak juga dapat jatuh dengan cara mengirim
utusan kepada istri. Utusan tersebut menyampaikan pesan suami bahwa dia telah
diceraikan.Misalnya suami berpesan keapada saya bahwa kamu telah
diceraikan.Utusan ini diisyaratkan harus orang yang benar-benar bisa dipercaya.[3]
b. Thalak dilihat dari keadaan istri
1.
Thalak Sunni
Adalah thalak yang dijatuhkan sesuai
dengan tuntunan syarak yaitu suami menceraikan istrinya yang sudah
disetubuhinya dengan satu thalak pada saat suci .Thalak yang sesuai dengan
syariat Islam adalah satu kali, kemudian merujuknya dan sekali lagi
menthalaknya, lantas merujuknya lagi sampai dua kali.Setelah thalak yang kedua
suami boleh menceraikan istrinya selamanya atau melanjutkan tali perkawinan
sampai akhir hayat.
Alloh
SWT berfirman:
لطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Artinya : Thalak(yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
2. Thalak Bid'i
Adalah thalak yang
bertentangan dengan hukum Islam,
misalnya menjatuhkan thalak tiga sekaligus, menthalak istri pada saat haid, dan
lain-lain.
c. Thalak ditijau dari segi kebolehannya dan mantan suami merujuk mantan istrinya.
1. Thalak Raj'i
Adalah thalak yang
boleh diruju' kembali oleh mantan suami pada masa idahnya atau sebelum masa
idahnya berakhir.Yang dimaksud disini adalah thalak satu dan dua.Ruju' disini
tentu saja tidak perlu memperbaharui akad nikah.
2. Thalak Ba'in
Yaitu thalak yang dijatuhkan oleh suami dan
bekas suami dan tidak boleh merujuk kembali kecuali dengan pembaharuan akad
nikah dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Thalak Ba'in ada dua macam,
yaitu :
a. Thalak Ba'in sugra
Adalah
menghilangkan kepemilikan mantan suami terhadap mantan istrinya, tetapi tidak
menghilangkan kebolehan suami untuk ruju' dengan cara memperbaharui akad
nikahnya. Termasuk thalak ba'in sugra adalah thalak sebelum bercampur, khuluk,
thalak satu dan dua tetapi masa idahnya btelah habis karena salah seorang
dipenjara atau lain sebagainya.
b. Thalak Ba'in kubra
Adalah
thalak tiga dimana mantan suami tidak boleh merujuk mantan istrinya kecuali
setelah istrinya menikah dengan laki-laki lain dan telah dicampuri dan kemudian
diceraikan oleh suaminya yang baru.[4]
B. Syarat Sah Jatuhnya Talak :
1. Orang yang menjatuhkan talak itu sudah
mukalla, baligh, dan berakal sehat.
2. Talak dilakukan atas kemauan sendiri.
3. Talak dijatuhkan sesudah nikah yang sah.[5]
C. Rukun Talak :
1. Kata-kata talak ada dua macam, yaitu talak
mutlak dan talak muqayyad (terbatas).
2. Suami yang menjatuhkan talak.
3. Istri yang dapat dijatuhi talak.[6]
2. Khulu’
Bila seorang istri melihat pada suaminya sesuatu yang
tidak diridhai Allah untuk melanjutkan hubungan perkawinan, sedangkan si suami
tidak merasa perlu untuk menceraikannya, maka si istri dapat menerima
perceraian dari suaminya dengan kompensasi ganti rugi yang diberikannya kepada
suaminya. Bila suami
menerima dan menceraikan istrinya atas dasar uang ganti itu, maka putuslah
perkawinan antara keduanya. Dan putus perkawinan dengan cara ini disebut
khulu’. Khulu’ yang secara harfiyah berarti “lepas” atau “copot”.Khulu’ itu
perceraian dengan kehendak istri.Hukumnya boleh atau mubah. Dasar dari
kebolehan ini adalah dari al Qur’an dalam surat al- Baqarah ayat 229.
Di dalam khulu’ itu terdapat beberapa unsur yang merupakan
karakteristik dari khulu’ itu dan di dalam setiap unsur terdapat beberapa
syarat, yaitu :
1.
Suami yang menceraikan adalah seseorang yang ucapannya telah dapat
diperhitungkan secara syara’, yaitu akil, baligh dan berbuat atas kehendaknya
sendiri dan kesengajaan.
2.
Istri yang dikhulu’ adalah seseorang yang berada dalam wilayah si
suami dalam arti istrinya atau orang yang telah diceraikan, namun masih berada
dalam iddah raj’iy.
3.
Adanya uang ganti dalam bentuk suatu yang berharga dan dapat
dinilai, yang nilainya sebanding dengan mahar yang diterimanya waktu akad
nikah. Ganti rugi ini diberikan oleh istri sendiri atau oleh pihak ketiga atas
persetujuan suami istri.
4.
Shigat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang dalam
ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau iwadh.
Bila telah diucapakan shigat khulu’ oleh suami atas permintaan
sendiri dan telah pula memberikan
tebusan, maka perkawinan putus dalam bentuk talak bain shugra, dalam arti ini
tidak boleh rujuk, namun dibolehkan melangsungkan pernikahan sesudah itu tanpa
mukhallil.[7]
3.
Fasakh
Dalam masa perkawinan mungkin terdapat sesuatu pada suami atau
istri yang menyebabkan tidak mungkin melanjutkan hubungan perkawinan baik
karena diketahuinya bahwa salah satu di antara rukun dan syarat tidak terpenuhi
atau terjadi sesuatu kemudian hari, maka perkawinan dihentikan, baik oleh hakim
atau dihentikan dengan sendirinya.Dalam hukum perdata disebut juga dengan
“pembatalan perkawinan”.
Salah satu bentuk terjadinya fasakh adalah adanya pertengkaran
antara suami istri yang tidak mungkin didamaikan.Putusnya hubungan perkawinan
dalam bentuk fasakh dapat terjadi karena adanya kesalahan yang terjadi waktu
akad atau adanya sesuatu yang terjadi kemudian yang mencegah kelangsungan
hubungan perkawinan itu.
a.
Bentuk kesalahan yang terjadi waktu akad, yaitu :
1.
Ketahuan kemudian bahwa suami istri itu ternyata punya hubungan
nasab atau sepersusuan.
2.
Waktu dinikahkan masih kecil dan tidak punya hak pilih, tetapi
setelah dewasa dia menyatakan pilihan untuk membatalkan perkawinan.
3.
Waktu akad nikah berlangsung suatu kewajaran, kemudian ternyata ada
penipuan, baik dari segi mahar atau pihak yang melangsungkan perkawinan.
b.
Bentuk kesalahan yang terjadi setelah berlangsung akad nikah, yaitu
:
1.
Salah seorang murtad dan tidak mau diajak kembali kepada Islam.
2.
Salah seorang mengalami cacat fisik yang tidak memungkinkan
melakukan hubungan suami istri.
3.
Suami terputus sumber nafkahnya dan si istri tidak sabar menunggu
pulihnya kehidupan ekonomi si suami.
4.
Zhihar
Secara arti kata zhihar berarti punggung.Secara definitif
dikemukakan ulama dalam formulasi yang berbeda. Di antara rumusan zhihar itu
adalah :
Ucapan seseorang laki-laki kepada istrinya : “Engkau bagi saya
seperti punggung ibu saya.”
Kalau ucapan ini dilakukan hanya sebagai penghormatan sebagaimana
ia menghormati ibunya, tidak membawa akibat hukum apa-apa. Namun orang Arab
terbiasa menggunakaan kata tersebut untuk memutus hubungan perkawinannya dengan
istrinya.
Zhihar merupakan salah satu adat Arab yang dibenci oleh Islam. Hal
ini terlihat dalam firman Allah dalam surat al-Mujadilah ayat 2 :
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ
مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي
وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا
Orang-orang yang menzihar istrinya
di antara kamu, (menganggap istrinya seperti ibunya), padahal tiadalah istri mereka itu ibu
mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah orang yang melahirkan mereka. Dan
sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan
dusta.
Hukum zhihar adalah haram dan orang yang melakukan zhihar tidak
diperbolehkan lagi menggauli istrinya, namun yang demikian tidak berarti
memutuskan perkawinan.Ia diwajibkan membayar kafaraah atas zhihar yang
dilakukannya itu. Sesudah itu dia diperbolehkan kembali kepada istrinya. Hal
ini dijelaskan Allah dalam surat al-Mujadilah ayat 3 :
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ
نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ
أَنْ يَتَمَاسَّا
Dan orang-orang yang menzhihari
istrinya, kemudian mereka menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib
atasnya) memerdekakan hamba sahaya sebelum kedua suami istri itu begaul.[8]
5.
Ila'
Secara arti kata ila’ berarti “tidak mau melakukan sesuatu dengan
cara bersumpah”. Secara definitif ila’ berarti “sumpah suami untuk tidak
menggauli istrinya”.
Bersumpah untuk tidak menggauli istri merupakan kebiasaan orang
Arab jahiliyah dan yang demikian dimaksudlan untuk memutuskan hubungan
perkawinan. Dalam pandangan islam Ila’ tersebut adalah perbuatan yang terlarang
karena menyalahi hakikat dari perkawinan untuk mendapatkan ketenangan hidup,
kasih sayang dan rahmat. Namun melakukan hubungan kelamin setelah sumpah yang
diucapkannya itu juga perbuatan terlarang, karena berarti melanggar sumpah.
Untuk mengatasi hal itu Allah memberi tuntunan dalam firmannya pada
surat al- Baqarah ayat 226-227 :
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ
نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (226) وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ (227
Kepada orang-orang yang meng-ila’
istrinya diberi tenggang waktu selama empat puluh bulan (lamanya), kemudian
jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
Lagi Maha Penyayang.Bila mereka berazam (berketetapan hati) untuk talak maka
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Bila telah habis tenggang waktu empat puluh bulan yang ditetapkan
Allah dan ternyata si suami tidak mau menggauli istrinya dengan terlebih dahulu
membayar kafarah, maka istri wajib menuntut untuk diceraikan.Kalau dia
menceraikan dengan baik-baik maka suami tidak mau menceraikan dan tidak mau
pula kembali kepada istrinya, maka hakim wajib menceraikan suamiistri itu.
Cerai dalam bentuk ini berstatus talak bain sughra menurut ulama Hanafiyah,
sedangkan menurut Maliki dan Syafi’iy,
perceraiannya adalah dalam bentuk talak raj’iy karena tidak ada dalil yang kuat
yang menyatakan bain.
6.
Li’an
Secara harfiah li’an berarti saling melaknat.Secara terminologis
berarti “sumpah suami yang menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak
mampu mendatangkan empat orang saksi,
setelah terlebih dahulu memberikan kesaksian empat kali bahwa ia benar dalam
tuduhannya.”
Pada dasarnya bila seseorang menuduh perempuan baik-baik berbuat
zina dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, mesti dikenai had qazaf
yaitu tuduhan zina tanpa saksi. Had qazaf itu adalah 80 kali dera. Hal ini
dijelaskan Allah dalam surat al-Nur ayat 4 :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ (4)
Orang-orang yang menuduh
perempuan-perempuan baik (berbuat zina) dan mereka tidak dapat mendatangkan
empat orang saksi, maka derlaah mereka delapan puluh kali dera dan janganlah
kamu terima kesaksiannya untuk selamanya dan mereka itulah orang yang fasik.
Bila yang melakukan penuduhan itu adalah suami terhadap istrinya
dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi kecuali hanya dirinya saja, maka
ia harus menyampaikan kesaksian sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa ia
benar atas tuduhannya. Yang kelima ia
menyatakan bahwa laknat Allah atasnya bila ia berdusta dengan tuduhannya itu.
Dengan sumpahnya itu maka suami bebas dari sanksi tuduhan zina
tanpa bukti.Hal itu berarti bahwa tuduhan zina itu adalah benar. Untuk
selanjutnya si istri dikenai sansi berbuat zina yaitu dera seratus kali bila ia
belum dicampuri oleh suaminya dan rajam bila ia telah pernah dicampuri oleh
suaminya.
Namun, apabila si istri tidak pernah berbuat zina seperti yang
dituduhkan suaminya itu, maka ia berhak membela dirinya dengan menolak sumpah
suami tersebut. Hal ini diatur Allah dalam surat al-Nur ayat 8 dan 9 :
وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ
تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8)
وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (9)
Istrinya itu terhindar dari hukuman
oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah bahwa sesungguhnya suaminya itu
termasuk orang yang berdusta; dan sumpah yang ke lima bahwa kemarahan Allah
atasnya bila suaminya itu termasuk orang benar.
Dengan sumpah penolakan itu si istri terlepas dari sanksi zina. Sumpah si suami
dan penolakan sumpah dari istri itu dilakukan di hadapan hakim di
pengadilan.Dengan terjadinya saling sumpah dan saling melaknat itu maka
putuslah perkawinan di antara keduanya dan tidak boleh kembali melangsungkan
perkawinan untuk selamanya.Di samping itu anak yang lahir dari perkawinan itu
tidak dinasabkan kepada suami yang meli’an istrinya itu, karena li’an itu
disamping menuduh zina, juga sekaligus menafikan anak yang dikandung istrinya.[9]
C.
Akibat hukum putusnya perkawinan :
Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri, maka akibat
hukumnya adalah :
a.
Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan
tidak boleh saling memandang, apa lagi bergaul seperti suami istri, sebagaimana
yang berlaku antara dua orang yang saling asing.
b.
Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah.[10]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
A. Putusnya pernikahan itu ada dalam beberapa bentuk
tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya
pernikahan itu. Dan putusnya pernikahan dapat terjadi karena adanya :
1. Talak.
2. Khulu'.
3. Fasakh.
4. Zhihar.
5. Ila'.
6. Li'an.
B. Akibat
hukum putusnya perkawinan :
Bila
hubungan perkawinan putus antara suami dan istri, maka akibat hukumnya adalah :
a. Hubungan
antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling
memandang, apa lagi bergaul seperti suami istri, sebagaimana yang berlaku
antara dua orang yang saling asing.
b. Berlaku
atas istri yang dicerai ketentuan iddah.
Azzam Muhammad Azis Abdul. Fiqih Munakahat.
Jakarta : Amzah, 2009.
Abidin Slamet. Fiqih Munakahat II. Bandung : CV
Pustaka Setia, 1999.
Qodim Husnul. Fikih Ibadah. Jakarta : LeKDiS,
2007.
Tihami. Fikih Munakahat : Kajian Fikih
Nikah Lengkap. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010.
Syarifuddin Amir. Garis-Garis Besar Fiqh.
Jakarta : Kencana, 2003.
[1]Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Prenada Media), 124-125.
[2] Tihami, Fikih
Munakahat : Kajian Fkih Nikah Lengkap, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada), 229-230.
[3] Husnul Qodim, Fikih Ibadah,
(Jakarta : LeKDiS), 137.
[4] Ibid., 138
[5]Slamet Abidin, Fiqih
Munakahat II, (Bandung : CV Pustaka Setia), 55.
[6]Ibid., 58-66
[7]Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Prenada Media), 131.
[8] Ibid., 133-136
[9] Ibid., 137-140
[10]Ibid., 141